Sabtu, 25 Juli 2009

pemikiran baru

Memahami Amrozi
Oleh: By: Prof. Dr. Achmad Mubarok MA

Amrozi dan dua temannya sudah dieksekusi dan sudah berada di alam
sana. Apakah ia diterima Alloh SWT sebagai pembunuh atau pejuang tidak
ada yang bisa mengkomfirmasi. Tetapi perdebatan tentang Amrozi sejak
ia menerima vonis hukuman mati dengan tersenyum hingga pelaksanaan
eksekusi mati yang terkesan tertunda-tunda, bahkan pada bagaimana
ekpressi masyarakat mengantar ke liang kubur masih meninggalkan kesan
kontroversi, sesungguhnya Amrozi dan kawan-kawannya itu pelaku
terorisme atau korban konspirasi global Negara Barat khususnya Amerika
(dan Israel) berkaitan dengan politik hegemoni sumber energi. Hingga
kini, yang belum terjawab tuntas dari fakta lapangan adalah , benarkah
bom Bali yang sangat dahsyat dan “bernuklir” itu produk rakitan Amrozi
? Jika iya,maka betapa luar biasanya kepandaian Amrozi yang menyamai
Amerika, Jerman, dan Israel, yang sudah barang tentu menjadi lebih
hebat dibanding Pindad. Sampai hari ini belum ada yang bisa
menjelaskan hal ini dengan argument yang logis. Jika bom dahsyat itu
bukan produk Amrozi,lalu siapa yang naroh disitu,numpang dua bom
rakitan Amrozi ?

Bagi orang yang sudah biasa menggunakan logika spionase, mudah saja
menjawab pertanyaan itu, karena infiltrasi dalam aksi spionase
merupakan hal yang lumrah dan bahkan wajib. Jejak teror dalam perang
spionase selalu dicitrakan sebagai perbuatan musuhnya, yang hasilnya
akan digunakan sebagai pembenaran atas aksi balasan terbuka dalam
skala besar.

Baiklah, Amrozi sudah almarhum, tapi mari kita coba untuk memahami,
siapa sesunguhnya Amrozi dan mengapa ia menjadikan Bali sebagai
sasaran tembakan aksinya. Ketika saya dikukuhkan sebagai guru besar
Psikologi Islam di Fakultas Psikologi UIN , kebetulan saya menulis
pidato dengan judul, Pencegahan Terorisme dengan Pendekatan Indigenous
Psychology. Tak disangka, pasca pidato pengukuhan saya banyak sekali
dihubungi orang berkaitan dengan terorisme. Saya jadi kenal pak Arsyad
Mbay dari desk terorisme menko Polkam. Radio Suara Amerika bahkan
empat kali melakukan wawancara dengan saya setiap kali ada issue
terorisme. Saya bahkan dihubungi oleh “orang” yang menurut
pengakuannya disuruh oleh Dr.Azhari, dimana ia katanya ingin berjumpa
dengan saya dengan maksud ingin menyampaikan pesan kepada Bapak
Presiden SBY bahwa Dr Azhari tidak sedang memusuhi Indonesia, tetapi
memusuhi Amerika. Lebih dari 30 kali SMS saya terima dari “Dr.
Azhari”, tetapi tak pernah bisa di konfirmasi. Kenapa harus menyebut
Dr.Azhari ?,karena untuk bisa memahami Amrozi, sosok Dr.Azhari bisa
menjad ibandingan.

Amrozi pemuda lembut dari Trenggulun, tetapi jiwanya sudah menyatu
dengan mujahidin Afgan ketika ia berada di Malaysia. Malaysia memang
simpang lalulintas “mujahidin”, baik mujahidin ke Afgan,Moro, Thailan
Selatan, Bosnia, Chehnya maupun GAM. Ketika Uni Sovyet menduduki
Afganistan, datanglah mujahidin dari banyak negeri Islam termasuk dari
Indonesia ke Afganistan dengan missi jihad mengusir tentara kafir dari
negeri Islam. Amerika yang musuhnya Uni Sofyet memandang kedatangan
mujahidin dari seluruh negeri Islam sebagai partner. Maka di Peshawar
Pakistan, dengan instruktur dari CIA (Amerika) dibantu M 16 (Ingris),
ISI (pakistan) dan didanai oleh Arab Saudi, didirikanlah pusat
pelatihan mujahidin Afgan dan non Afgan. Lebih dari 100 ribu mujahidin
digembleng disitu dan dilatih menggunakan senjata-senjata canggih.
Peshawar bukan hanya pusat latihan mujahidin, tetapi juga menjelma
menjadi semacam kampus fundamentalisme. Di situ berkumpul para pejuang
dari berbagai negeri Islam yang siap mati demi kejayaan Islam
universal.. Mereka berkumpul tidaklagi menggunakan identitas negeri,
tetapi sudah denganidentitas Islam mujahidin.

Ketika tentara Uni Sovyet berhasil diusir dari Afganistan, para
mujahidin merasa merekalah yang mengusirnya, tetapi Amerika yang
melatih merasa Amerikalah yang berhasil mengalahkan Uni Sovyet.
Perasaan berhasil dalam diri mujahidin membuat mereka memiliki konsep
diri positip, yaitu bahwa dengan jihad, negara superpower seperti Uni
Sovyetpun dapat dikalahkan. Oleh karena itu seusai Afganistan,
gelombang mujahidin merasa terpanggil untuk berjihad dimanapun orang
Islam teraniaya. Mereka ada yang pergi ke Bosnia, keChehnya, ke
Philipina Selatan (Moro). Mujahidin asal Indonesia juga sigap-ke Ambon
dan Poso ketika masyarakat muslim dipojokkan disana.

Ketika Amerika melakukan politik standar ganda dan memborbardir banyak
negeri Islam, alumni mujahidin Afgan termasuk Imam Samudera berbalik
arah melawan Amerika yang semula menjadi pelatihnya di Peshawar.
Ketika Presiden Bush mengancam akan mengejar teroris dimanapun ia
berada, maka mujahidin juga menjawab sebanding, mereka akan mengganggu
kepentingan Amerika di negeri manapun. Di Malaysia, kelompok Mujahidin
memang menemukan lahan yang menarik,karena dari sana mereka juga lebih
mudah pergi ke Libya, dan ketika itu Muammar Gadafi memang musuh
kentalnya Amerika. Amrozi meski tidak ikut ke Afganistan, tetapi ia
sudah larut dalam psikologi mujahidin karena diMalaysia mereka berada
dalam satu komunitas..

Perang antara Amerika dan Mujahidin akhirnya menjadi perang global.
Amrozi dan Imam Samudera tidak lagi merasa menjadi orang Indonesia,
tetapi sebagai bagian dari muslimdunia yang sedang berhadapan dengan
super power Amerika. Psikologi perang itu berbeda dengan psikologi
damai. Di Basrah Irak, pesawat super modern Amerika langsung menembak
sebuah mobil bak yang sedang membawa tiang listrik , karena dalam
pandangan mata pilot yang sedang perang, tiang listrik itu adalah
moncong meriam tank, padahal teknologi sudah sangat modern.

Begitupun Amrozi cs, pertama ia berperang dengan orang Amerika,
berikutnya, semua orang kulit putih dipersepsi sebagai Amerika,’.
Karena di Amerika kebanyakan orang penganut Keristen, makaorang
Kristen Indonesia juga dipersepsi sebagai kaki kaki tangan msuh.
Begitulah psikologi orang perang, hingga mereka tidakbisa membedakan
antara orang Amerika dengan orang Australia.

Sesungguhnya perang antara Amerika dengan mujahidin adalah perang
antara dua terors,yang satu teroris besar yang dijalankan oleh negara,
melawan teroris terpojok dengan senjata apaadanya.

Pertemuan team asistensi PBB di Jakarta yang ditugasi membuat definisi
terorisme akhirnya gagal mendefinisikan, karena setelah disebut ciri
teroris ada tiga;

Pertama mereka menyebarkan rasa takut kepada publik,

Kedua menghancurkan infrastruktur publik,seperti gedung dan jembatan,

Ketiga menimbulkan korban tak berdosa dalam jumlah yang sangat besar.

Dari tiga ciri itu ternyata teroris yang paling besar adalah Amerika
Serikat. Jadi siapa Amrozi ?silahkan di renung sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar